Yang Mengatakan "Puitis"

foto 2023

Aku tidak tahu, tak pernah kuhitung, kau orang ke berapa yang mengatakan, "tulisanmu puitis meski tidak suka dibilang puitis". Maaf, aku hanya menulis kenyataan ini, bukan mengada-ada. Bukan sombong. Sudah banyak sekali orang berucap pujian yang senada itu pada diriku tetapi tidak sedikit yang mengkritik, bahkan memaki. Namun, apakah salah, bila menulis segala kenyataan yang hidup.? Jika salah, silahkan kita kembali lagi berpikir. Bertanya dan menjawablah lebih jujur.!

Ya, semuanya kutulis, segala yang tampak di lingkunganku. Apapun itu. Dibaca atau tidak, itu bukan urusanku. Puji-memuji, kritik atau memaki, sekali lagi itu hak individu. Tetapi aku tetap menulis. Dan, bagiku, inilah yang dinamakan pendirian. Ah, sudahlah. Dan baiklah, silahkan lanjut membacanya, bila sudi. Namun jika tidak, juga tak mengapa.

Di mana-mana, selalu ada orang-orang yang suka memuji, mengkritik dan memaki. Seperti itu pula kepadaku, hanya karena aku menulis kenyataan dengan keunikanku sendiri. Ada yang, "kau kuliah di mana Ucen?" "oh, selama ini saya kira kuliah di Sastra?", "kau cocok kuliah jurusan Sastra?" "cecen ini kalau kuliah di Sastra, sudah jadi penulis dan punya banyak buku pasti", "hey, penyair", "Ucen ini laki-laki perenung, laki-laki sastrawan, penulis puisi dan cerita, laki-laki puitis, laki-laki misteri", "hallo laki-laki seribu bahasa", dan lain-lain. Sudah banyak sekali, bahkan pembimbing dan penguji-penguji Skripsi ku, juga beberapa dosen-dosenku berucap hal yang serupa, seperti "hey, laki-laki misteri..", "kenapa tidak kuliah di Sastra saja?", "teman-temanmu banyak ya di Sastra?", "Ini Skripsi mu atau koran, Ucen.? Cara menulismu seperti orang bercerita. Cara menulis ilmiah bukan seperti begini, tulisan-tulisan yang Ucen tulis ini persis kaya kita membaca koran. Nanti ke perpustakaan melihat cara tulis ilmiah yang baik dan benar seperti apa dan bagaimana ya, pada Skripsi orang. Bukan seperti gini. Ubah.!", itu ucapan pembimpingku saat aku habis presentasi hasil praktek kerja lapangan, seorang Doktor, bernama Gamal M Samadan, seorang pembimbing yang amat baik kepadaku, juga akrap sekali denganku, membuat aku tersenyum gembira hingga tak tahan bahak tawa dalam hati, membikinku tertwa kecil-kecil karena ucapannya yang bagiku lucu, hingga aku merasa bisa melihat diri sendiri di matanya, yang memang lucu, unik, spesifik dan berbeda dengan yang lain. hahaha. Juga dosenku, ketika ia berjalan kaki pulang, ia mendapatiku duduk sendirian menunggu teman di fakultas Ilmu Budaya, dan ia memotretku lalu kirim ke Grup WhatsApp, "jangan hanya duduk di Sastra, Ucen, Ibu baru tau selama ini benar apa yang dibilang pak Gamal, sering-seringlah main ke Lap, kasihan ikan-ikan penelitian hanya adik-adikmu yang jaga, gantian juga dong", dalam foto yang dikirimnya ke group tertulis kalimat tersebut. Dan aku menyahutinya dengan emoji tertawa. Ketua Prodi di tempat pendidikan ku pun demikan, diam-dam mendaftarkan diriku ikut lomba membaca puisi di Universitas, katanya "Ucen, Ibu sudah daftarkan namamu di Universitas untuk mengikuti lomba, mewakili Prodi kita, nanti tolong tulis puisi-puisimu ya, pakai almamater dan wajib ikut.!". Aku kaget, saat ia menelpon dan menyuruh ke ruangannya ternyata hanya untuk mendengarkan ucapan tersebut. Tetapi aku menolaknya, "maaf, Bu, saya tidak ingin dan tak punya impian untuk membacakan puisi di satu tempat yang telah tega hati mendrop-out kawan-kawan seperjuangan saya sendiri, sekali lagi. maaf Bu, maaf sekali..", seingatku itu kata-kata yang keluar dari mulutku, terledak-ledak dalam ruangan kecil bersegi empat, yang dinamai "Ruangan Prodi Budidaya Perairan". Banyak juga yang mendorongku, banyak sekali, mendorong menulis buku dan lain-lain. Namun belum pernah gubris semua ucapan pujian dan dorongan tersebut. Juga kritik dan makian yang tak aku tahu apakah ucapan mereka jujur atau tidak. Bagiku itu urusan mereka sendiri. Tapi aku mendengar saja, dengan tertawa-tawa kecil ceria, keceriaan yang bukan bahasa hati yang sesungguhnya, tapi hanya menunjukan kepada mereka karena sudah berani berucap kata-kata yang hebat. Meski aku tak pernah, dan tak akan mengatakan seperti apa yang diucapkan mereka kepada diri sendiri. Ada juga yang memintaku menuliskan puisi untuk mereka, lalu mengajari cara membaca puisi, banyak sekali. Sekali pun begitu, kulakukan permintaan itu, meski tidak semua. Aku sendiri merasa aneh mengapa bisa begini.? Padahal sama sekali tidak mengerti harus menerangkan apa, karena tak pernah belajar menulis puisi atau membaca puisi yang baik, sebagaimana yang didambakan pendapat-pendapat umum. Tetapi setelahnya, karena diminta maka aku bilang sesuka hati kepada mereka, tulis-tulis saja, tulis apapun, itu juga puisi. Kalau membacanya, ya, baca biasa-biasa saja, baca terus, pasti suatu saat bertemu dengan caranya sendiri, cara membaca yang baik itu. Akh, apa gunanya menceritakan kenyataan macam begini...

Sebenarnya, aku hanya berterima kasih kepadamu, sayang, perempuan yang kuimpikan, yang masih dalam impian. Kau ternyata bisa mengerti catatan yang ku tulis untukmu. Kau dapat memahaminya, sebagaimana dalamnya pujianmu, atau kata-kata indah yang didengarkan kepada telinga hatiku. Tetapi bukan itu yang ku maksud pada catatan yang sok-sok bijak ini. Namun yang dimaksudkan ialah, dalam tulisan berderet kata-kata, panjang seperti koran untukmu, pada ujung desember kemarin itu, sebenarnya hanya ingin menggugah perasaanmu pada kenyataan-kenyataan yang hidup, timpang tindih dan carut marut, untuk melihat bagaimana kemanusiaan dan sikap dirimu dalam tindakan nyata, agar jauh lebih maju lagi, lebih berani. Karenanya, sengaja dalam catatan tersebut kau kuajak agar segera kita berani memilih, bukan netral di atas permukaan air bah peradaban orde. Bukan pula mendukung penindas dan menjalankan penindasan di dalam KELAS masyarakat sosial. Tetapi berpihak pada Rakyat miskin papa yang dibikin derita, dan lekas berani angkat suara sebagai generasi baru.! Hanya itu, sekali lagi hanya itu saja. Tetapi saat ini, hingga detik ini, akh. Kau punya pilihan. Siapa pun tidak berhak membatasi...

Mungkin aku pun bukan satu-satunya yang amat tertakluk pada jiwamu yang tegar. Namun sejak pekat malam itu, aku dapat menikmati betapa girangnya suasana hatiku, karena pujian ucapanmu terhadap kekuatan kata-kata yang dibaca. Aku nggak tahu kenapa, padahal yang lain-lain tak segitu amat, biasa saja, sungguh, serius, hanya satu-satunya suara pujianmu terhadap tulisan tersebut, membuat aku gembira malam itu, batapa bergejolak riang jiwaku. Dan warna warni pergolakan yang lain hanya lewat. Aku pun nggak tahu apakah kata-katamu berasal dari hati dan kepala yang jujur atau tidak.? Namun itu bukan urusanku. Tapi aku kenal vokal tersebut dengan rasa. Yang berpihak pada perdamaian daripada agresi, pada pembebasan daripada penindasan. Seperti sekali lagi tulisanku yang panjang semacam koran untukmu desember kemarin. Barangkali itulah mengapa hatiku amat senang dan gembira di tengah malam gelap yang pekat. Hehehe.

Akh, ya, kau harus tau ini, kau, sebetulnya hanya sebutir pasir dalam cerita abstrak yang pernah singgah di dalam hidupku. Terima kasih ya. Mungkin esok kita bertemu lagi dengan mimpi-mimpi yang visioner, dan catatan-catatan yang sama-sama bisa bersepakat untuk memeluk erat kemanusiaan, juga gigih menuntut pembebasan. Mungkin. Di pantai atau di tempat yang sama. Kita berbagi cerita lagi, dengan kata-kata. Dan aku pasti menulis lagi, menceritakan semuanya...

Ternate, 15/10/2023
Lentera Merah

Komentar

Postingan Populer