BAWA-LAH PILIHANMU, TERBANG DAN TEGAKLAH!

AKU MASIH DI SINI, seperti biasa masih memungut semangat yang tersisa, impian yang tertinggal, dan juga, sok-sok sibuk mengatur langkah. hehehe. Tetapi rasa sunyi suka membolak-balik hatiku yang pura-pura damai, ia memanggil-manggil kenangan, hingga aku marasa kekosongan dan bosan sekali. Ya, kekosongan, ialah sebuah rasa dimana kebisuan merontak, kacau dan merobek-robek hati. Dan seringkali diam-diam air mata menitik membasahi pipiku. Aku menangis bukan karena sedih, tetapi kali ini karena amarah terlampau sesak dalam dadaku. Karena kebebasanku, hak-hakku, dan kemerdekaanku sebagai manusia dibantai dan dicuri.

Namun inilah cerita perjalananku, seorang lelaki muda berusia 25 tahun kini. Sosok berjiwa merdeka yang lahir di tengah-tengah kehidupan keluarga kelas menengah ke atas, anak sulung yang pertama keluar merengek-rengek dari rahim seorang ibu berjiwa tegar, sosok pendidik yang mengabdikan dirinya di satu sekolah negeri dalam kota kecilku, Ternate. Sekolah itu bernama SDN MANUNUTU. Ia Guru Agama Islam, mengajari anak-anak membaca dan mengafal Al-quran dan Hadist, juga mendendangkan salawat Nabi. Aku pun lahir dari satu bapak berpendirian kukuh dan sudah meninggal dunia sejak tujuh tahun yang lalu, 11 April 2016.

Dalam lingkungan keluargaku, dimana jauh sebelum aku berada di dalam kandungan, telah ada kesepakatan umum tentang bagaimana menjalani hidup yang beradab dan baik pada lingkungan-lingkunganku. Dan kini barulah aku mengerti. Tentu "menjalani hidup yang beradab dan baik" ialah suatu kebijaksanaan, tetapi menyayangkan bagiku sendiri, penuh keteraturan yang membosankan dalam lingkungan keluarga ini. Dan keteraturan yang membosankan itu seringkali berakhir dengan stagnasi kebiasaan-kebiasaan lama yang pelit untuk dibendung. Sungguh menyedihkan. Karena itu, aku selalu mempertahankan sisi "anak kecil" dalam diriku di atas permukaan realita, di mana dan kapan pun, agar pundak tak terlalu berat dan langkah kaki agak sedikit ringan.

ADAB MENGHADAB BIADAB pada deretan khayal-khayal, mimpi-mimpi, impian dan harapanku yang akbar keindahannya dalam diri ini. Itulah lingkunganku. Disebabkan oleh mereka yang kusebut Rakyat tuaku. Mereka tidak pernah belajar sejarah dengan baik dan benar, barangkali tidak pernah membaca cerita apa-apa, tragedi-tragedi atau malapetaka yang terjadi di hari tempo silam bangsa ini. Kecuali membaca, mengagumi dan menjagokan kisah para raja-raja yang memang tak pernah berhati tulus berperang tumpah darah, tetapi hanya didongengkannya pernah menang atau tak pernah kalah. Itulah sebabnya adab mereka menjadi biadab di hadapanku sebagai satu generasi baru yang hidup dengan mimpi-mimpi.

Impian-impian dan harapanku yang sarat dengan keindahannya menjadi kandas karena watak manusia-manusia iblis bernama patriark, sosok kepala rumah tangga yang konon beradab, berdarah ningrat dan muruah. Yang beranggapan dirinya berbeda dengan orang lain. Angkuhnya, manusia yang berdarah berbeda dengannya tak boleh ada di rumahnya, segera keluar meninggalkan teras rumah. Juga, merasa berhak mencemooh keindahan orang lain yang menurutnya compang-camping. Seperti orang-orang KIRI di simpang jalan yang sudah terbiasa dengan nada omongan tersebut. Aku pun pernah diceramahinya tanpa mimbar dan pengeras suara berulang-ulang kali di dalam rumah, tetapi suaranya keras mendokma aku, menghakimi dan mengadili seolah-olah dia yang paling benar. Akh, begitulah wajah patriark di dalam lingkungan rumah ini.

AKU KABUR DARI RUMAH, seringkali itu terjadi sejak tahun dua ribu enam belas kemarin. Aku memilih tegak dan kuat seperti baja, manahan pukul dari marabahaya apapun, dan aku menceburkan diri di jalanan bergabung dengan manusia-manusia berjiwa bebas dan merdeka, yang kata segelintir manusia-manusia "berdab" mencemoohnya sebagai sosok yang dekil, kusam, compang-camping, memiliki nilai-nilai keindahan yang menyesatkan.

Di sana aku bebas terbang dengan keindahan cita-citaku. Dan aku pun menikmati beragam keunikan-keunikan yang otentik, spesifik dan berbeda-beda seperti mereka hingga kini, telah berdarah daging pada jiwa dan ragaku, kepala dan tindakanku. Aku mengenal kehidupan, lingkungan-lingkungan yang paling luas, kenyataan-kenyataan terbanyak derita dan kesengsaraan manusia-manusia jelata yang terbaring malang, tercabik-cabik kemiskinan yang papa, terkapar sekarat, terlantang paksa semacam habis diperkosan beruntun, berganti-ganti dan berdarah-darah akibat pembodohan dan kebohongan manusia-manusia iblis. Dan aku benar-benar memahami makna terdalam dari kata "beradab", bahwa diri ini akan menjadi indah bila mengetahui di mana kita harus berdiri dan berpihak.! Aku kemudian bertemu dan berkenalan dengan sebuah kata yang mulia bernama "Kemanusiaan dan Pembebasan" di atas permukaan air bah peradaban orde. Keindahan kata itu tak mungkin bisa ku kenal dengan baik kalau tak bertemu dengan kawan-kawanku, yang mengajak aku terbang jauh ke langit-langit impian dan pengharapan, bersama sayap-sayap kata-kata yang betapa indah, dan kelak hendak aku menamainya Seni Pembebasan.

AKU BELAJAR KEBERANIAN tak takut mati dan berhati suka rela di kiri jalan bersama mereka, kawan-kawanku sendiri yang mempertahankan kepala dalam situasi apapun, kaum muda berpikiran dan bersemangat yang segar, yang penuh visioner, yang mau berani berkawan, berlawan, tak bergeming goyah oleh kekalahan berkali-kali. Sekali lagi mereka kawan-kawanku sendiri yang mau berani memikul segala konsekuensi dari kemungkinan-kemungkinan adanya penjahat yang datang menodong dengan senjata pembungkamannya. Sebagaimana kelas masyarakat sosial yang tertindas yang memikul beban dan melewati tembok rintangan lebih akbar dan berat. Sampai saat ini aku dan kawan-kawan masih percaya bahwa tugas untuk menjalankan kebenaran berdiri tegak di atas segala-galanya melampaui batas-batas kecemasan, rasa takut dan ketidaknyaman hidup. Bahwa kita semua adalah anak-anak jaman. Bahwa setiap jalan menghadirkan keadaan yang berbeda-beda, dan karenanya punya tanggung-jawabnya masing-masing. Bahwa kita semua punya tugas yang sama, adalah berpihak pada keadilan dan kebenaran, memajukan peradaban, jauh, jauh lebih maju lagi, mewujudkan suatu peradaban yang peradab dan sekali lagi jauh lebih manusiawi.

Karena itu, bergegas aku buang segala moral-moral yang hidup dalam keluarga ini. Aku kubur dalam-dalam kesadaran nurani yang menipu diriku sendiri. Aku hancurkan rasa nyaman dan damai yang menolak kemajuan dan tak punya kekukuhan iman. Dan sekali lagi kalian tak perlu menaruh balas kasihan. Persetan.! Karena aku pasti menerima semua konsekuensinya.


Ternate, 15 Oktober, 2023

Lentera Merah.



Komentar

Postingan Populer