MURAM MAI

foto demontrasi menolak RKUHP, 2019

Muram, Mai. Siapa tidak kenal.? Dunia kelabu yang datang dengan senjata, api, pisau, dan benda tumpul di hari tempo silam, senja kala orde preman yang kelam itu.

Orang-orang seperti kita amat tahu dan memahami wajahnya. Karena akbatnya, telah menghantam generasi kita tanpa iba kini, merusak dan menghancurkan moral-moral yang dibangun dengan keringat, air mata dan tetesan darah penghabisan.

Hingga kini beberapa dari mereka yang menikmati kebebasan hasil dari kematian orang lain malah menolak kemajuan. Kau tau, kaum tua bangsa sendiri yang kolot dan korup itu, Mai, pelit dan angkuh untuk menerima kenyataan bahwa dunia telah berubah, dan peradaban sudah jauh lebih maju.

Mari, kuajak kau, jika sudi.

Ikutlah aku bergabung dengan kaum muda yang berjiwa dan berpikiran segar, yang gigih bersemangat membangun dapur solidaritas kemanusiaan di jalanan, membentangkan spanduk, umbul-umbul, menyanyikan tuntutan-tuntutan, memberikan pengertian-pengertian kemanusiaan dan pembebasan pada dunia.

Kita menerjang dan bersama-sama meneriaki kobohongan dan pembodohan manusia-manusia iblis yang mengakibatkan kemiskinan dan kehancuran, bahwa tak boleh tidak, hentikanlah kekerasan dengan bentuk apapun.!

Ya, Mai, dunia yang ingin kita benamkan dengan abu, lalu melahirkan peradaban yang indah.

Tetapi air mata masih menggelantung, menghanyut pada ranting bahu.

Bagaimana bisa.? Akh. Seperti amuk yang terjadi dalam berita sore kemarin tentang badai taifun di pantai selatan itu. Kau tahu kan. Kau mengerti dan memahaminya kan.

Akh, muram memang.

Memang, serta merta aku ingin menuliskan semua-muanya saat menemukan nama Udin, Thukul, Wawan, Sigit, Marzinah, Munir, Pram, Arnol AP, Musamakotabuni, Filep Karma, Surya Anta Ginting, Semsar Siahaan, Arbi M Nur, Fahrul Abdullah, Ikra Alkatiri, Fahyudi Kabir, Veronika Koman, Teliskulabait, Elikwait, Aliansi Mahasiswa Papua dan FRI-WP. Aku merasa emosi yang dalam. Emosi yang sama ketika aku membaca malapetaka gerakan 01 Oktober, dan kasus-kasus dalam materi feminisme. Tetapi diantara cerita realita yang ku pungut di jalanan itu, Mai, membikin aku berani mengambil sikap sebagai seorang anak muda. Hendak aku menerjang bergabung dengan jiwa-jiwa pemberani untuk menolak tundak pada kebohongan, pembodohan dan kemunafikan.! Meneriaki manusia-manusia yang memakai juba tetapi berwajah iblis.! Dan menghormati kemanusiaan dalam tindakan nyata dengan kemampuan dan ketidakmampuan diri sendiri.

Bukan kah begitu, Mai, cita-cita kita yang visioner itu. Iya kan.! Ayo, ayo lekaslah kita menerjang lebih jauh untuk menuntaskan keindahan cita-cita ini, bersama-sama....!


Ternate, 17 Desember, 2019

Lentera Merah

Komentar

Postingan Populer