Yang Gelisah Tetapi Penakut
Perasaan itu bercampur-aduk pada jiwa lelaki muda berusia 25 tahun. Dari sudut-sudut kenyataan, perasaan gemilang tersebut menghampirinya dengan wajah yang bigitu puitis sekali. Tak ada yang benar-benar memahami kekuatan bahasa pancawarnanya dalam kenyataan. Baginya, kecuali perasaan itu sendiri.
Sejak remaja, yang gelisah telah berkenalan dengannya. Suatu perasaan abstrak datang tak dari langit. Mula-mula hanya bayangan tetapi ia cepat berubah-ubah wujud dan wajahnya. Kadang senyum, tertawa riang, bahkan mengundang dendam yang keras memberang. Tetapi kini bahasa kegemilangnya menyatuh bersama impianku yang indah. Sebagaimana orang-orang bermunajat di rumah-rumah ibadah, yang menampung lelah, air mata, dendam dan meledakkan marah.
Kegelisahan ini kemudian menghadirkan kecemasan dan rasa takut yang tak bisa lagi diajak mendebat. Dan aku sudah tidak bisa menebasnya. Sebab ia sudah lebih dulu membabat habis kenyataan diriku yang teramat dikoyak sepi, yang pernah jatuh terantuk membatu. Aku kalah dari perasaan ini.
Kegelisahan, membikin tubuh dan jiwaku melapuk layu, tenggelam berasama perasaan misterinya. Sampai di ujung khayal-khayal, mimpi dan harapanku, ia masih saja datang mengusik bersama seribu macam bahasannya sendiri, betapa puitis sekali. Sungguh, kali ini kegelisahan tak kenal kompromi kepadaku. Dan aku pun tak mengerti.
Tidak ada yang bisa menjawabnya. Namun, meski pun begitu aku masih bisa bertanya; apakah ini kesemuan belaka, suatu perasaan yang begini indahnya kepadamu, seorang dara.? Akh, tetapi aku takut hujan turun dari lekuk mataku lagi, jatuh berderai menyemberangi pipiku. Karena aku hanya seorang manusia biasa. Hanya sosok lelaki.
Tetapi kita bisa membicarakannya kan.? Akh, aku tidak tahu. Sampai pada ujung kata-kata ini pun, tak dapat aku mengerti.
Akh, benar saja kata kawanku, yang ketika berbicara kepadaku semacam orang membaca sajak dan memprovokasi untuk memeluk kemanusiaan, dia kawan SeBUMI (Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia), Au Jen ku-sapa-nya, ia berdiri di hadapanku lalu berucap berani setelah mendengarku bicara, "kita tidak bisa mengalahkan kegemilangan rasa semacam itu, bung, dengan logika apapun, kita tidak bisa. Kalau dalam hal perasaan ini. Sehebat-hebat orang, dan seidealis-idealis siapa saja anak muda, dia tidak akan mampu menyatakan keindahan perasaan yang bergejolak itu. Kau tau mengapa, bung, kecuali orang-orang berani tak takut mati seperti mu, seperti kita. Sekali lagi ketuklah pintu hatinya, membawa keindahan kabar asmara dari hatimu". Dan aku hanya tertawa melihat keunikannya yang otentik...
Ternate, 25 Oktober, 2023.
Lentera Merah.
Kau sungguh cerdik dalam merangkai kata demi kata sehingga menjadi kalimat yang dramatis, namun aku melihat ini hanyalah keberanian jiwa yang hanya bisa luapkan rasa itu lewat tulisan atau kata-kata.
BalasHapusterima kasih pimpinan pada kalimat hebatmu. kau begitu hebat dalam memaknai bahasa dalam catatanku.
Hapusterima kasih sekali lagi, kau sosok kawan yang baik. hormat saya sangat dalam.!