BADAI KEMARAHAN.!

            badai kemarahan
Et, Kalau tidak ada yang mau bercerita kepadamu tentang generasiku, biarkan aku menceritakannya kepadamu ya. Akan kucatatnya senada dan sekenanya, tetapi tidak membelakangi kenyataan-kenyataan yang hidup, tentu saja. Maka sudi kah kau membacanya, Et, pergolakan-pergolakan generasi ini yang berbeda jamannya dengan masa lewat. Aku mengisahkan cerita ini kepadamu, semata-mata agar kau tau, bahwa inilah badai kemarahan yang kupendam pada tingkah manusia-manusia iblis yang konon "beradab". Mereka seringkali memakai juba, suka mengenakan peci dan rajin melaksanakan sholat tetapi tak henti juga melakukan maksiat, dan pandainya berakrobat, menyimpan kebusukannya tak terlihat orang-orang, namun dapat dicium bauhnya oleh kita yang mengerti dan memahaminya, betapa menjijikan moral-moral manusia-manusia iblis itu. Et, diam-diam aku memakinya amat keras, begitu dalam, hingga menitikkan air mata karena kemanusiaanku tergugah, karena kesadaranku sebagai manusia terpanggil. Maka mau kah kau, aku menceritakannya, Et, badai kemarahan ini.? Baiklah, sekarang aku menceritakannya kepadamu dengan caraku sendiri.

Selama ini, berhari-hari kita telah ditipu, dibodohi dan tak punya masa depan yang cerah. Generasi ku ini, Et, Akh. Kalau aku mengatakan generasiku, itu artinya anak-anak manusia, lelaki dan perempuan yang hidup pada jaman ini. Et, meski detik waktu berderak melaju, tetapi ia hanya bisu, tak ada kepastian yang menjamin hidup aman di dalam lingkungan-lingkungan, tempat kita tinggal, di mana pun itu. Sadar atau tidak, terima atau nggak, kenyataan telah memperhadapkan peristiwanya yang kejam di depan mata, begitu biadab dan keji. Et, tahu kah kau, atau pernah mendengar kah, di ujung timur Nusantara, ada terjadi malapetaka, pembantaian manusia atas manusia, berhari-hari orang-orang pribuminya menitikkan air mata, traumatik, hidup dalam kecemasan dan rasa takut. Manusia-manusia ber-ras melanesia itu, pada ketidaknyaman hidup tersebut, mereka mengungsi ke pegunungan, lari dari tempat tinggalnya sendiri karena bunyi senjata, ancaman dan kematian, pemerkosaan, pembunuhan masih terus berulang terjadi - sampai saat ini. Apakah kau pernah mendengar orang berbisik-bisik tentang itu.?
Hal tersebut, Et, hanya sebagian kecil yang kusampaikan kepadamu, namun di lain waktu akan kuceritakan lagi tentang satu negeri ahli derita itu, yang punya banyak kekayaannya tetapi dikuras habis oleh manusia-manusia iblis, manusia-manusia jahat. Satu negeri yang manusianya ber-ras melanesia, berada di ujung timur Nusantara ini.

Seperti itu juga hanya sebagian kecil dirasakan oleh anak-anak bangsa ini, penderitaan dan ketidakpastian hidup. Tahu kah kau, realita itu datang pada generasiku karena moral-moral penakut sudah dididik sejak awal. Demikian pula sejak dari dalam kandungan kita telah diajari kebudayaan bagaimana mengambil keuntungan dan mengancam manusia yang dianggap lemah, agar memperoleh kemapanan, kejayaan yang culas, kehormatan sementara, puji-pujian dan hanya untuk kenikmatan sesaat. Inilah yang disebut moral pecundang. Moral iblis, budaya manusia-manusia berjiwa kriminil.

Et, apa yang terjadi pada ribuan jiwa generasi ku ini sehingga hilang senyum, tawa dan keceriaan di wajahnya, adalah satu kemunafikan bangsa ini. Tentu tak lain, pembodohan dan kebohongan manusia-manusia iblis tidak pernah bisa kita berani mengakhirinya, itu-lah penyebabnya. Seperti itu pula pada diri ini, diri kita masing-masing, bahwa apa yang harus kita melakukan bila mendapatkan, melihat dan merasakan kenyataan-kenyataan tersebut.? Tentu saja sebagai manusia terpelajar yang sadar, Et, kemanusiaan kita pasti tergugah, amarah pasti diam-diam mengamuk dalam dada. Dan bagaimana kah mesti bertindak.? Jelas melawan, sudah jelas melatih diri untuk berani melawan, ya terus melatih dan melawan tanpa kompromi terhadap moralitas palsu.!
Kalau aku bilang moralitas palsu, Et, itu maksudku adalah, bukan tidak mempertimbangkan resiko pada diri sendiri, atau konsekuensi yang ditempa orang lain, atau tak menyoalkan pendapat-pendapat umum, bukan Et, tetapi lebih dari itu ialah tidak mengurangi harkat dan martabat manusia, tidak menindih, melecehkan dan menghinakan kemanusiaan tetapi sebaliknya, memuliakan dan memeluk kemanusiaan. Maksudku, keberpihakkan kepada kemanusiaan adalah kemuliaan, adalah keberanian itu sendiri, berpihak pada sesuatu yang disebut FITRAH MANUSIA.! Sampai disini, sudah kah kau mengertinya.? Semoga. Semoga saja.
Tetapi kini apa yang terjadi pada generasi ku.? Berani kah kau mengatakan bahwa generasiku adalah "generasi pecundang", yang mengulangi kesalahan-kesalahan lama.? Generasi yang keluar dari lorong-lorong kecil dan berlari ke jalan-jalan raya untuk mencari kemapanan di sana, kepuasan, memperoleh tapak lorong surgawi. Akh, kalau begitu, Et, siapa yang tega melahirkan dan menciptakan generasi sebengis itu.? Melakukan kecurangan pada hati nurani sendiri dan bertingkah culas terhadap orang lain hanya untuk dirinya sendiri. Itu kan tindakan biadab, keji, karena melanggar fitrah diri sendiri, fitra kita sebagai manusia.

Hal itu, Et, tindakan seperti tadi, ternyata mengakibatkan kemiskinan, kehancuran, penderitaan dan kekerasan teramat dalam terus berulang-ulang terjadi. Dan tentu saja kau dan aku, atau kita semua anak-anak bangsa punya tugas yang sama. Bisa kah kau mengerti.? Maka inilah badai kemarahan mengamuk; pada lingkungan generasi kita ini, suatu kekejian bernama kekerasan, bukan hanya dianggap lumrah, tetapi telah menjadi kelaziman yang tidak dianggap bengis oleh segelintir manusia-manusia iblis yang konon "beradab". Bagaimana tidak.? Kenyataannya, kita tak pernah diajari kebudayaan kerakyatan atau mendapatkan pelajaran berbahasa yang baik, bermoral dan bertingkah laku terpuji. Bahkan di tempat-tempat pendidikan sekali pun, hanya mengajari seperti apa wujud kemewahan dan menginjak kemanusiaan.
Seperti itu pula segelintir guru dan maha gurunya, juga ikut mengamini kekerasan, bukan mendidik cara melawannya tetapi menjadi bagian dalam lingkaran iblis, mempraktekan tingkah kekejaman tersebut dengan sekali lagi meminjam sorban malaikat dan rajin mempraktekan maksiat. Biadabnya, jutaan manusia terpelajar tidak mau menyadari, apalagi jujur di dalam hati dan tindakannya bahwa yang kita pelajari selama ini adalah kebohongan belaka.
Akh, apa yang bisa dibayangkan pada mata ratusan juta regenerasi di hari ini.? Apakah kelak kita menepuk dada kemudian mewarisi kekerasan lagi, seolah-olah kita telah benar-benar berani melakukan sesuatu.? Jelas TIDAK.! Kita bukan generasi pecundang yang dilahirkan dari moral-moral pengecut, bukan saling mendidik untuk menjadi penakut, yang mengatasnamakan cita-cita visioner tetapi ada "hamba" dan "tuan" disana. Tentu saja, tidak seperti itu kita dilahirkan dan dicita-citakan oleh sejarah, karena sejarah meniscayakan kemajuan-lah yang hendak diutamakan. Bahwa karena itu, jangan pernah bermimpi suatu perubahan besar bila tak mau melatih keberanian pada diri sendiri, apalagi masih ada "tuan" dan "hamba" disana. Bahwa inilah moral-moral kita; dibentuk dengan ujian-ujian, melewati tembok resiko, ancaman, bahkan, melampaui batas-batas kecemasan, rasa takut, dan ketidaknyamanan hidup. Dan moral-moral itu, Et, kelak aku menemukan namanya, MORAL PEMBEBASAN.

Et, cerita-ceritaku ini barangkali amat membosankan ya. Maafkanlah aku. Aku hanya bercerita apa yang baik sebagai manusia. Tetapi biarkanlah aku melanjutkan ya, cerita pergolakan yang hidup ini.

Ah ya, Et, dari titik kenyataan-kenyataan tersebut, hendak aku berangkat menulis di sini, menceritakannya kepadmu dengan kesadaran yang dalam, dan rasa amuk yang membara pada dada karena kenyataan-kenyataan yang paling luas itu; karena kebenaran diperkosa, fakta dikhianati, kemanusiaan dipermainkan, dilecehkan dan dihinakan berulang-ulang kali. Hal itu, kemudian dendam hadir, menderu tak berkesudahan hingga detik ini. Dan jelas, siapapun manusia tak bisa tinggal diam ketika kemanusiaan tergugah melihat kekerasan-kekerasan di dalam kenyataan dengan bentuk apapun.

Lalu, Et apa yang harus dilakukan untuk memulai melawan kekerasan.? Bisa kah kita mau berani menjawabnya.? Tentu saja bisa.! Siapapun kalian generasi yang dididik tidak dengan kemanjaan dan menolak kesenangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Hormatku sangat dalam. Bahwa kau, aku, atau siapa saja, tidak akan bisa melawan kekerasan dimana dan sampai kapan pun kalau takut berbicara. Seperti itu pula dengan cita-cita sebuah perubahan yang besar untuk hari depan yang indah, bahwa jangan pernah memimpikannya jika hari ini kita takut menerjang dan meneriaki pembodohan dan kebohongan manusia-manusia jahat.! Itu-lah jawaban satu-satunya yang aku percaya, Et. Yang aku yakini dan imani. Sehingga membuat aku harus ke jalanan bergabung bersama anak-anak muda berjiwa suka rela, bertindak berani meneriakin pembodohan yang mengakibatkan kehancuran. Berseru perdamaian daripada agresi, gencatan senjata daripada jatuhnya bom, kemerdekaan daripada penjajahan pembebasan daripada penindasan, dan demokrasi daripada anti demokrasi.! Kau dapat mengerti kan.

Dan sungguh, tembok resikonya, hanya sebutir pasir bila kita membuka mata selebar-lebarnya, melihat konsekuensi atau beban yang dipikul manusia-manusia malang dan jelata, jauh teramat berat. Seperti itu, Et, seperti itu.

Pada jiwa dan kesadaran anak-anak muda yang telah diuji tahan banting dan berpendirian keras, yang terlahir tidak dikelilingi bidadari-bidadari cantik dan pangeran-pangeran rupawan, tetapi setan dan iblis yang siap siaga menerkam, kaum muda terpelakar yang punya sikap baja itu, tentu jauh hari telah mengetahui akar dari marabahaya budaya kekerasan, yang merusak moral, menghancurkan kehidupan dan mencuri kemewahan cita-cita generasi, ya kita bersepakat tidak lain, Et, akarnya adalah kapitalisme yang bermesraan dengan feodalisme dan bergandengan tangan bersama militerisme. Mereka-lah wajah sebenarnya yang menciptakan kepalsuan, pembodohan dan kebohongan, dan mengakibatkan kehancuran, kemiskinan, kemalaratan bahkan kematian. Watak-watak penindas tersebut mengakar ke dalam gedung-gedung kolonial bangsa ini, yang isinya manusia-manusia badut berkepala botak mengkilap, lucu tetapi juga korup. Kita pun tahu, bahkan sampai ke dalam tempat-tempat pendidikan yang katanya "tempat manusia yang tinggi derajatnya karena berilmu dan berpengetahuan melangit", padahal nyatanya, memunafikkan apa yang dibilang tersebut, menghinakan dirinya sendiri dengan kebohongan tindakannya yang mengiyakan tingkah laku yang melecehkan kemanusiaan. Hal tersebut juga menjadi subur pada kalangan mahasiswa-mahasiswa berkomplotan iblis. Yang kata kawanku "suka memakai peci, membaca dan mengajari Al-Qur'an, bersholawat, suka adzan dan mengajak ibadah tetapi rajin pula melanggar dan tak sedikit melaksanakan maksiat".

Itulah badai kemarahan, kini tak tahu lagi bagaimana harus berhenti menceritakannya, Et. Tetapi nanti aku lanjutkan. Karena aku mesti segera beranjak sekarang. Sampai jumpah...


Ternate, 06 November 2023
Lentera Merah.

Komentar

Postingan Populer