Yang Terombang-ambing

Usia muda penuh keresahan. Penuh ketegangan, menguras energi dan pikiran, penuh tantangan. Benar saja, itu kata kakekku dahulu, menjadi anak muda harus berani menanggung resiko, menghadapi akibat-akibat atas keindahan khayal-khayal, mimpi dan harapan. Kalah, patah, terkoyak-koyak hingga lapuk layu jiwa dan tubuh, itu masa anak-anak muda yang kuat dan hebat, karena tidak dimanjakan oleh boneka-bonekaan, mobil-mobilan tetapi pembentukan sikap kepribadianmu. Katanya dahulu...

Tetapi akh., benar saja. Dan kini.., sampai kapan aku begini. Larut dalam kekacauan, semacam amuk tak berkesudahan, antara impian dan kenyataan berkelahi tak mau henti.

Tak terasa sudah hampir dua tahun lebih, dia, perempuan gemilang yang aku impikan itu terus mengikutiku. Aku seperti berada di lautan kata-kata, terombang-ambing oleh deru serta riuh badai dan gemuruh gelombangnya.
Tak bisa berbohong, kali ini benar-benar membikin aku goyah. Prahanya amat keras. Dibikin oleh kepalaku sendiri. Tetapi sebenarnya aku betul-betul tidak mengerti. Apa ini...
Kenyataan-kenyataan demikian membuat aku bisu dengan ragam bahasa cahaya kebijaksanaannya, hingga.. hilang arah. Kemudiku terasa patah, dan langkah-langkahku begitu liar. Mengkompromi segala macam yang ada, namun tidak lupa dan tak meninggalkan prinsip.
Aku membiarkan segalanya lewat begitu saja, dan malas untuk menyapa. Dan segala sesuatu terasa berisik sekali, getir, sekali-kali aku mudah melepaskan marah nggak seperti biasa, sehingga beberapa teman-taman heran padaku, melihat sekapku...

Aku sendiri tak tahu harus bagaimana di atas permukaan realita ini. Dan mengapa semua harus menjadi macam begini. Apa-apaan ini. Apa-apa yang kurencanakan hari lalu... akh, bukan sebajingan suasana perasaan ini...

Memang, jelas aku sadar, langkah kakiku sudah membawaku begini jauh, dan diperhadapkan dengan suasana yang melibatkan perasaan memang sesuatu yang bimbang. Dan memang bimbang, karena aku tidak mau jatuh lagi seperti hari lalu, di ujung senja kala itu. Dan aku menulis ini pun membiarkan kata-kata mengalir begitu saja, sejadinya, sekenanya. Juga, kalian pun tak perlu menaruh balas kasihan..

Malam sudah mendekati subuh, pukul 04.15 sekarang. Dan terasa dingin sekali pagi ini. Menusuk tubuhku yang kurus, dan pipiku yang tirus.
Menulis ini pun terasa semacam ada paksaan, begitu berat tetapi masih saja aku menuliskannya. Dan aku belum lagi melanjutkan studi akhirku, untuk memulai mengakhirinya terasa bosan sekali. Dosen-dosen pembimbing yang kemarin bersama-sama pernah mengkritisi tulisanku “semacam kita membaca koran, seperti cerita-cerita novel. Cara tulis ilmiah bukan begini, Cen, ubah!” katanya, mereka menelpon aku tak henti-henti. Tetapi mengapa tak membuat aku menggubrisnya.
Catatan-catatan sejak belasan tahun belakangan hingga kini, mau aku susun menjadi sebuah cerita pun belum pernah dimulai, satu abjad pun tak pernah ditulis.
Dua bulan lalu aku rencana mau menyusun puisi-puisiku untuk menjadikannya menjadi sebuah kumpulan puisi pun sampai sekarang nggak jadi-jadi. Sungguh terasa bosan sekali.

Akh, aku tahu, tulisanku yang satu ini, membuat kalian bosan untuk membacanya kan. Karena tidak punya arah yang jelas. Maafkan aku. Tetapi kalian boleh tak melanjutkan membacanya. Aku tak bisa dan memang tak suka membatasi hak siapapun untuk membaca atau tidak dibaca.

Ah ya, sampai disini aku nggak mengerti – apa semua ini.. aku betul-betul tak memahami. Perasaan ini malah amat dalam kepadanya, seorang perempuan gemilang itu. Tetapi mau kah kau menunjukan arahnya, bersama-sama denganku.?

Hingga detik ini, suasananya terasa membosankan sekali. Semacam melankoli banget..


Ternate, 27//11/23
Lentera Merah

Komentar

Postingan Populer