ATAS NAMA MENGELUS JEJAK

foto 2019
2019-2021.
Aku punya cerita pribadi, dan aku ingin menceritakannya di sini. Hanya sekedar mengelus-elus jejak. Terserah kalian mau membacanya atau tidak, itu bukan urusanku, juga tak ada hakku melarang kalian tidak membacanya. Tetapi boleh jadi apa yang diceritakan ini menjadi pengetahuan untuk kau, sang pembaca, bila tidak, kau boleh melupakannya. Membuangnya atau memakinya kalau perlu.

Cerita ini disusun dengan ingatan pada tahun-tahun itu, awal duaribu sembilan belas hingga awal duaribu duapuluh satu. Bukan apa-apa, hanya tentang seorang lelaki muda dan satu gadis gemilang yang pernah menjalin hubungan cinta kasih, konon, berkukuh seiya sekata “kesetiaann", lebih-lebihnya "tanpa pelarian".
Dari titik terjang ingatan itulah yang membuat aku hendak memberanikan diri mengarangnya, mengarang tanpa membuka kembali catatat-catatan tersebut. Aku sendiri tidak tahu ini akan menjadi seperti apa, tetapi apa boleh buat, tak aku memperdulikan itu. Biarkanlah catatan ini mengalir sejadinya. Barangkali aku egois menurut perasaan, tetapi maaf saja. Biar bagaimana pun, terasa perasaanku lain, hari ini aku tetap gembira mengarang sejadinya. Dan inilah karangan ceritanya, Atas Nama Mengelus Jejak:

Dua tahun, seingatku dalam catatan buku tulis yang malas dibuka, adalah suatu hari demi hari yang memang tak cukup lama jaraknya dalam hitungan dimensi waktu manusia. Namun suka atau tidak, sepertinya kita harus mau tahu, bahwa disetiap langkah kaki, disana ada materi dan pengetahuannya, ada kata-kata dan bahasa yang terkandung di atas kenyataan, terlahir dalam realitanya yang hidup, yang bergeming pada derak-derik jarum jam yang setia menjalankan tugas dan tanggung-jawabnya, tak kenal henti berputar. Semua itu menghadirkan pergolakan yang cepat berubah-ubah dan berganti-ganti, antara kesedihan dan kegembiraan, keburukan dan kebaikan, kebohongan dan kejujuran, kecurangan dan ketulusan, kemunafikan dan kesetiaan, keculasan dan kasih-sayang, kebengisan dan keindahan, - segalanya ku tumpahkan di atas kertas, hingga bertumpuk-tumpuk, di dalam buku-buku tulis harian, dan propaganda-propaganda berlembar-lembaran terlantar membisu dan berserakan di atas lantai kamarku, sarat dengan kata-kata yang hidup. Catatan-catatan tersebut bila ku pandanginya dari jarak tiga meter antara pintu kamarku dengannya, ia seolah-olah mengusiku, memanggil-manggilku, merayu, kemudian menudingku, menuntut dan memintaku hendak mengenal hak-haknya untuk segera bertanggung-jawab. Tetapi dengan sombong aku mengabaikannya begitu saja, pura-pura nggak mengetahui, sebab belum sekarang terasa lekas memulai membukanya kambali.
 
Namun hendak aku merangkainya; akhir-akhir ini, terasa melankolis sekali. Begitu malas menengok catatan yang bertumpuk-tumpuk tanpa halaman, padahal sudah direncakan melihat-lihat kembali sejak jauh tempo silam. Tetapi kini waktu menyatakan lain, langkah kaki malah menyeret-nyeretku ke sini, tempat ini, dengan situasi dan perasaannya sendiri. Namun rasanya aneh, aneh sekali, karena kini aku merasa dikutuk keinginan menuliskan tentang perempuan tersebut, sosok gadis yang mengusik jiwa dan pikiranku bertahun-tahun, meski sekarang sudah nggak ada bahkan di dalam mimpi, tetapi seringkali ia datang mengusik. Kini, aku menulis tentangnya lagi tanpa membuka catatannya, sebuah tulisan yang pernah tercatat dalam buku tulis beberapa tahun lalu, ku mengarangnya dengan ingatanku kepadanya, aku turuti kemauan perasaanku yang, sekali lagi, amat kuat menguasaiku untuk menulisnya.
 
Akh, Mai, Zahrotul Maimunah, sepertinya benar kata-katamu pada ujung senja hari itu, aku masih ingat suara lembut yang keluar dari mulutmu setelah lidah dan bibirmu hebat berdansa, hingga melahirkan ucapan, “eh, eh.., Cen, kau kelak akan dikutuk sunyi, setelah aku pergi, percayalah.! Tetapi jangan lupa ya, hei penyair, jangan lupa apa yang kita cita-citakan dan impikan.! Jangan lupa pula pada yang pernah kita tanam dan harapkan dalam hidup yang pendek ini, duhai pujanggaku!”, akhir Desember kata-kata tersebut mengujani kuping ku.
Tetapi perempuan Sastra Inggris Universitas Ahmad Dahlan Jogjakarta itu, pada penghabisannya, begitu indah, dan betapa terasa kesejukan kalimatnya dalam perasaanku, bahkan hingga kini tak terlupakan.
Tentu saja aku memahami apa yang dimaksudkannya. Jelas, ia hendak pamit dengan caranya sendiri, seakan-akan tanpa melepaskan kemesraan, tanpa meninggalkan ceritanya, dan tanpa kenangan dalam  bahasa kasih-sayang di hati seorang lelaki dan perempuan yang saling mencintai.

Benar, ia pergi, dan sampai saat ini tak aku temukan jejaknya. Hanya terakhir kali aku tahu, ia menikah pada Februari 2022 dengan kekasih pilihannya, seorang yang dalam foto pernikahannya memakai penutup kepala semacam raja-raja jawa yang merasa hebat bila mempunyai kuasa dan merampas hak-hak kawulanya yang dibodohinya, pria yang di pinggangnya terikat sebilah keris, sosok lelaki pilihannya sendiri yang berwajah feodal.
Saat itulah perasaan ini betul-betul terasa seperti menghadapi prahara badai taifun, sebagaimana yang terjadi di pantai selatan pada bulan desember ini, mengamuk sejadi-jadinya pada segala yang ada di depan. Ya, aku hilang arah, ada sesuatu yang hilang dan terasa kosong, dan kecewa, marah, sedih, dendam, sabar, segala emosional cepat berubah-ubah dan berganti-ganti, bercampur aduk semacam rujak, pedis, asam, manis menyatuh menggerogoti jiwa dan raga, mengoyak-ngoyak dan mencabik-cabik hati dan tubuhku hingga lapuk layu. Tak bisa aku berbohong atau menyimpan kebenarannya kini, tetapi sayang sekali, seorang gadis gemilang itu, ia pergi dan lupa membawa lekuk senyumnya, kilau matanya, caranya memandangi, serta bahak tawanya yang begitu riang. Juga ia, lupa membawa janji manisnya yang diucapkan bibirnya dengan suara merayu mesra “akan mendongengkanku sebuah kisah keindahan, tentang suatu romantika kehidupan manusia yang adil di dalam sebuah negeri bernama, negeri dongeng”, ia lupa membawanya pergi bersamanya, dan meninggalkannya di sini, taman asmara, tempat perjumpaan yang pernah mesra.
 
Kini makin terasa apa yang ia bilang, perempuan Tuban, Jawa Timur, kelahiran 1998 itu, bukan main-main, jelas, begitu dewasa suara-suaranya, serupa bahasa ke-ibu-an, suatu kata-kata tentang pergolakan yang bukan kesemuan atau kepura-puraan belaka. Mungkin karena ia benar-benar mengenalku, aku tidak tahu. Tulus mencintaiku, barangkali, aku pun tak memahaminya. 
Aku bukan seorang yang cerdik membaca sesuatu bahasa dalam perasaan, atau kata-kata yang berbunyi di hati seseorang. Dan aku kira semua orang yang punya pikiran waras tak pernah bisa membaca itu, biarpun dukun. Aku pun sejak tadi hanya dapat terheran-heran saja, karena apa yang dikatakannya menjadi kenyataan pada diriku kini. Akh, dia, perempuan yang indah dan misteri, bagiku. Ya, misteri. Barangkali karena aku amat mencintainya, akh, barangkali..
 
Pada sisi yang lain, perempuan gemilang yang kemarin pernah ada dalam hidupku itu, Mai, mesra ku sapanya. Ia juga ternyata seorang gadis pembaca Pram. Membaca buku-buku seperti tetralogi Buru, Perawan Remaja Dalam Cengraman Militer, Nyanyian Seorang Bisu, Gadis Pantai, Panggil Aku Kartini Saja, Cerita Dari Blora, Arok Dedes, dan beberapa lainnya, termaksud Ibunda, karya Maxim Gorki, novelis Rusia yang diterjemahinya.
Ketika hendak aku mengujinya untuk mengetahui seberapa dalam pengetahuannya mengenal sosok yang bernama, Pramoedya Ananta Toer, ia malah girang menunjukan pendirian sikapnya, seakan-akan mengajakku bertengkar dengan vokalnya yang apik, bahkan saling menuding dan melepaskan tanya, “siapa itu Pram, tahu kah kau bagaimana dan seperti apa wajahnya, Cencen, duhai laki-laki pujanggaku.?”, desaknya diiringi dengan sorotan matanya yang tetap mesra untukku menjawab.
 
Aku lalu – hanya berani picakan tawa, terbahak-bahak di taman asmara itu, dimana hati dan pikiran yang segar - terasa betapa indah menyambut pertannyaannya. Mengetahuinya aku pun hendak bergegas dengan kegagahan seorang lelaki muda di depan gadis yang dicintainya, aku lekas memulai, berkata, “siapa ya, Pram itu, menurutmu, duhai gadis kekasihku yang gemilang.? Siapa dia.? Apakah ia seorang lelaki Jawa tengah, di kota Blora, kelahirannya 6 Februari 1925.? Kalau aku salah, nanti kau tolong luruskan ya.! Pram, bukan kah isterinya juga bernama, Maemunah, satu perempuan yang berhasil menaklukan hati sang pengarang besar Nusantara, yang mengagum-ngagumi Multatuli, yang karya-karyannya kemudian termasyhur, tidak hanya di negeri ini namun juga jauh suaranya didengar hingga di negeri berkemajuan ilmu pengetahuannya bernama eropa, dia kah Pram.? Itu kah dia, yang karya-karyanya pun pernah dilarang di bangsa ini, dan sebagian naskah-naskahnya juga hendak dirampas, dibakar oleh militer yang terlahir dari rahim KNIL, yang kini berwujud, Tentara Angkatan Darat (TNI).? Ia kah – yang kemudian dianugerahi lima anak-anak jaman dari rahim perempuan kekasihnya, Maemunah, lalu itu kah Pram, yang dikemudian hari dikatakan dirinya sendiri bahwa “seluruh hidupku selamanya adalah sejarah perampasan. Dan menulis adalah keberanian, kalau takut jangan jadi penulis.!”, dan sekali lagi itu kah lelaki hebat bernama, Pram.? Pram, dia kah yang dibuang ke Nusakembangan, lalu ke pulau Buru, selama empat belas tahun, sejak Oktober 1965-1979, dia kah, Pram, yang menyaksikan dan mengalami sendiri apa yang disebut penindasan, ketertindasan, ketidakmerdekaan hidup, pemenjaraan, kerja paksa, penyiksaan, penganiayaan, perampasan, empat belas tahun mendekam di pembuangan dalam negeri sendiri tanpa pengadilan oleh kebengisan Orba, kekuasaan militerisme.? Hingga, selama itu, anak-anaknya pun tak dapat dikenalnya ketika dibebaskan sebagai Tahanan Politik (Tapol) pada tahun 1979. Itu kah dia yang bernama Pramoedya Ananta Toer, Mai, duhai kekasihku yang pandai merayu.?”
 
Si perempuan yang pernah berjanji manis mendongengkanku satu roman yang indah itu, hanya menganga membisu menyaksikan keunikanku – pura-pura tuli, yang, – padahal aku tahu ia teguh menyimak, lalu matanya hanya menatapku mesra tak berkedip, memancarkan kasih-sayang. Akh, ia tahu betul jika aku serius berbicara dan kemudian dihadangnya, pasti aku marah. Ia pun memahami bagaimana keseriusan berpikir dan seperti apa proses memilih kata untuk mendirikannya menjadikan suatu ucapan, atau suatu kalimat-kalimat tentang sebuah peristiwa yang hidup agar mudah dimengerti orang. Dan i
a tentu saja tak ada pilihan lain kecuali melepaskan bahak tawanya yang manis - setelah menyaksikan nilai-nilai keindahan pada diriku yang lain dari segelintir manusia-manusia iblis yang menepuk dada konon "beradab", dan keindahan yang nggak main-main berbicara tentang Pram, menurutnya kelak.

Alam sadarku terasa hendak menasehati, berbisik-bisik pelan-pelan kepadaku, "ternyata aku sendiri yang diujinya", menyadarinya, membikinku tertawa diam-diam. Dan tetap saja diam. Tetapi ia pun tidak ingin menanggapinya. Hanya kebisuan menguasi suasana hati yang seperti pelangi. Mungkin diam-diam telah ia menyatakan aku telah lolos dan lulus ujiannya, barangkali. Aku hanya mendengung dengan kepala tegak, namun tentu-lah tak memaksanya agar lekas berbicara sesuatu, karena tak ada hak melakukannya..
 
Akh, rupa-nya, perempuan kekasihku itu, dalam ingatanku ia pun mengenal Khairil Anwar, sang penyair kesepian itu. “itu, Khairil, penyair bermata merah, bertubuh kecil, sosok pujangga angkatan pertamaa, 1945”, katanya riang.
“Khairil Anwar itu lelaki yang pernah menulis puisi untuk beberapa perempuan yang dicintainya, namun tak pernah ia nikahi. Khairil Anwar juga seorang yang merasa terkoyak-koyak sepi, sampai kemudian mati muda pada usia 28 tahun”, ucapnya, perempuan yang pernah aku kenal amat dalam, Zahrotul Maimunah.
 
Gadis asal Tuban itu, ia juga mengenal, Soe Hok Gie. “Soe Hok Gie, dia pemuda terpelajar progresif, namun kelak merasa menyesal dikemudian hari karena ikut terlibat meruntuhkan Soekarno. Ia sosok aktivis mahasiswa, berkuliah di Universitas Indonesia (UI), Fakultas Sastra, Program Studi Sejarah, ia pun keturunan Teonghoa, yang rupanya menjadi “proklamator” kebenaran dan keadilan bagi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) yang sangat mengistimewakannya. Dia juga mati muda, setahun lebih muda dari Khairil, 27 tahun usianya meninggal dunia, di gunung Semeru, karena merasa gagah naik gunung setinggi itu sendirian”, ceritanya, Mai, dengan semangat kepadaku. Dan aku merasa masih banyak lagi yang tak sempat diceritakannya untuk didengarkanku, sebagai lelakinya yang dicintai, disayangi dan disia-siakan. hahahaha…
 
Akh, Menyayangkan. Tak sempat aku menceritakan kepadanya tentang seorang lelaki gagah, punya sikap baja, tahan banting terhadap prahara dan terpaan badai taifun kehidupan. Lelaki tersebut bernama Lukman Njoto, akrab dikenal dengan sapaan, bung Njoto. Seorang perintis pidato-pidatonya Soekarno. Bagiku ia teladan yang baik, seorang militansi tanpa batas, sang pelopor sayap KIRI dalam jamannya. Pendiri dan pempinan redaksi Harian Rakyat, sebuah media agitasi dan propaganda Partai Komunis Indonesi (PKI). Ia juga piawai menulis surat-surat panjang, berlembaran halaman, sebuah surat yang sarat dengan pergolakan kenyataan-kenyataan. Surat-surat tersebut konon kerap kali dikirimkannya kepada pujaan hatinya bernama, Soetarni. Bahkan dengan surat-surat itulah ia melamarnya, merayu dan mengajak nikah bersama perempuan berjiwa tegar keturunan ningrat berasal Surakarta,– yang di dalam suratnya juga berdiri kekukuhan nazar, konon terbaca rayuan serius nazarnya “setia sehidup semati bersama!”. Soetarni pun pada akhirnya tertakluk. Mereka menikah pada Mei 1955, dan dianugerahi tujuh anak.
Lukman Njoto, ia sosok lelaki yang kemudian ditelan malapetaka 01 Oktober 1965, dipaksa hilang oleh “Angkatan Darat”, hingga tenggelam tak ditemui kuburnya.
Sementara Soetarni, kekasih Njoto yang dijanjikan “setia sehidup semati bersama” itu, kabarnya ditangkap dan dipaksa mendekam di dalam penjara militer, penjara ke penjara selama 13 tahun, bersama anak pertamanya yang masih kecil bernama, Svetlana Dayani. Anak sulungnya yang juga berdarah-darah, ikut memikul beban konsekuensinya akibat jalan hidup yang dipilih bapaknya yang pemberani bernama, Njoto.
Ya, Soetarni dan anaknya rela mendekam di dalam penjara karena cinta, cinta yang akbar dalam janji "setia sehidup semati bersama!". Mereka dipenjarakan tanpa pengadilan karena dituduh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan tuduhan lainnya ialah angota Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI). Sementara anak-anaknya yang masih kecil-kecil, kocar-kacir berpindah-pindah tempat tinggal yang satu ke tempat lainnya, dibawakan oleh kakak kandung istri Njoto, Soetarni. Namun, Soetarni, kekasih pilihan Njoto yang militansi tanpa batas itu “tak pernah menangis”, kata Svetlana. Ini dikuatkan oleh ucapan, “Sungguh, Mamah tak pernah menangis. Senyumnya manis. Darinya kami belajar tegar”, ucap anak sulungnya, Svetlana Dayani yang bersama Ibunya di dalam penjara hingga dibebaskan, (ada di dalam buku: njoto peniup saksofon di tengah prahara).
 
Akh, sayang sekali, tak sempat aku menceritakan kepadanya, Mai, tentang kisah cintanya mereka yang curam, Njoto dan Tarni, sebuah kisah yang indah untuk diteladani dalam kehidupan yang katamu "hidup yang pendek ini". hmmm…
 
Sampai di sini saja ya tulisan ini, karangan dalam ingatanku untukmu, duhai kekasih yang pernah mencintai dan menyayangi lalu menyia-nyiakan diriku, Zahrotul Maimunah.


Ternate, 18 Desember 2023
Lentera Merah

Komentar

Postingan Populer