BAPAK, AKU SUDAH TIDAK BISA PULANG LAGI

Sabia Puncak 29 Januari 2024

Betapa mahal impian ini, Bapak. Kau yang menginginkanku sekolah, bukan untuk “sukses” dalam pengertian pendapat-pendapat umum yang belum tentu benar, pendapat yang penuh keteraturan dan membosankan. Tetapi belakangan aku ketahui kau menginginkanku menjadi seorang manusia yang suka berbuat kebajikan. Itulah sebabnya, betapa mahal impian ini, Bapak.

Jalan impian muda ku, di tengan-tengah masyarakat sosial yang masih mengamini feodalisme, watak culas, pelit dan angkuh itu. Rasanya aku harus menanggung bebannya sebagai seorang terpelajar yang baik. Barangkali, sebagian orang yang hidup dalam lingkungan masyarakat ini, akan menganggap aneh. Tetapi ada kah yang lebih baik daripada harus ikut bekerja sekuat tenaga bersama teman-teman untuk dapat merubah tetanan sosial dalam lingkungan kita – yang miskin nurani ini, supaya bermoral lebih manusiawi. Bukan kah pendirian itu yang dimaksudkan oleh Ibu, kekasih hatimu, adalah sikap yang "berakhlaktul'qarimah", yang terpuji sebagai manusia. Ya, jalan impian ini, tidak mudah, tetapi bukan berarti sulit.

Akh, Bapak, betapa mahal jalan impian itu. Namun bagaimana aku membayarnya.? Apakah aku harus membayarnya dengan ketegaran seorang, Mamah, yang dipeluk sepi di malam hari, tak bisa tidur karena memikirkan kehidupan empat anak-anaknya yang ia asuh dengan kasih sayangnya – yang berlebihan. Oh, tidak, Bapak, tetapi aku harus menuntaskannya, bekerja untuk impian yang indah ini. Ya, aku ingin membangun rumah kemanusiaan, rumah tanpa kekerasan, tetapi dihuni generasi yang berjiwa ketimuran, yang saling menyayangi, baik hati, mau belajar dan rajin bekerja.

Akh,jalan impian sederhana itu tidak mudah, Bapak, aku harus ikut teriaki budaya-budaya tolol segelintir manusia-manusia munafik, manusia-manusia iblis, mereka yang menghina,menginjak-injak dan melukai kemanusiaan.!

Bapak, betapa mahal jalan impian ini. Dan aku sudah tidak bisa pulang ke kampung halaman, kampung yang telah menelan masa mungilku. Aku sudah tidak bisa kembali lagi, karena nasib. Ia membawa kesadaranku pergi jauh, melewati jalan kemestian – untuk menggapai-gapai impian sederhana itu. Hingga sejauh ini, jauh antara aku dan titik tolak tak bisa dijangkau, hanya kenangan masih cerah di dalam kepalaku.

Ya, nasib telah mempertemukanku dengan kenyataan-kenyataan yang paling luas dan begitu banyak materi dan pengetahuannya – yang paling nyata. Tetapi di sana tak aku temukan jalan untuk pulang.

Aku sudah tidak bisa pulang lagi, Bapak, menapaki jejak kanak-kanakku, bermain bola di halaman pagar rumah pada pagi hari, juga di lapangan belakang rumah saat sore. Atau ke pantai melihat senja di waktu sore. Uhgk, ke kebun kakek berangkali, memetik bua pala, cengkih dan kelapa, hasil limpahan panenan kaum Tani. Atau ramai-ramai mendendangkan langkah, lengang-lenggong ke air kali Tuanane yang mengalir dari mata airnya – yang segar.

Akh, jalan impian ini, menghendaki aku untuk tidak bisa pulang. Aku hanya berenang-renang di lautan kenyataan kota kecil ini. Tetapi sesekali arus rindu itu datang, menghantam jiwa muda ku, hingga mengundang genangan air mata. Mengingat-ingat kasih sayang kebapakkan – Bapakku yang pernah ada. Juga Kakek dan Nenek. Dan Om-Om, Bibi-Bibi yang betapa berwelas asih kepadaku di sana.

Bapak, betapa mahal jalan impian ini. Hingga aku sudah tidak bisa pulang.

Akh, apa artinya menceritakan cerita yang membosankan macam begini...

 

Ternate, 29, Januari, 2024.
Lentera Merah

Komentar

Postingan Populer