Yang Terpendam, dan Tak Dimengerti

AKU TAK MENGERTI. Realitanya, kau datang lagi. Bukan sekedar mampir, tapi seperti menetap. Dan memang kau tak pernah pergi, sejak aku benar-benar mengenalmu di beberapa purnama silam. Semacam tuntutan-tuntutan pembebasan yang tetap ada. Sebagaimana mimpi-mimpi pada usia muda ku yang indah. Seperti itulah. Kau mengerti kan.? Semoga.

Kau ada, pada benakku yang dalam. Pada hatiku yang tulus, dan di bagian-bagian langkahku yang militansi tanpa kompromi pada keculasan segelintir manusia-manusia iblis yang menyebabkan kehancuran. Kau, ikut campur di dalamnya, di dalam mimpi-mimpi sederhana ku, yang indah. Seperti sebuah sikap yang tinggi moral, yang gigih dan kukuh pada iman, semacam Ali dan Zulfikar di tangannya yang siap menebas kepala kezaliman.

Akh, ada disaat-saat kau tampil di permukaan, sebagai wujud yang paling indah, sebagai manusia yang begitu gemilang, karena sumber cahaya, kekuatan, penemu api, pelahir keindahan, kau lah dara itu. Kau lah perempuan. Yang menerjang dan meneriaki kekerasan dengan cara sendiri, dengan yang lebih ilmiah dan manusiawi, melalui tulisan-tulisan, mengajari dan mendidik pengertian-pengertian pembebasan, di tempat kau bekerja, pekerja pers, pekerja kemanusiaan, tanpa pambrih buruk. Yang, sekali lagi memberikan cahaya pada suatu gulita.

Aku tak bisa membohongi diri lagi. Bersikap pura-pura untuk tak menjadi diri sendiri. TIDAK.! Arus emosional ini begitu hebat menghantamku, sekali lagi karena keindahannya. Bahwa hari ini kau masuk lagi ke dalam catatanku, suatu kumpulan abjad yang tak ingin berbualan semu. Mungkin dinamai prosa, puisi, sajak, opini, atau apalah - tetapi memeluk kemanusiaan dan mengajak untuk menuntut pembebasan.!

Dan, diam-diam aku mencatat segala gerak yang sungguh berkemanusiaan itu, di kiri jalan. Kau tahu kan. Kau mengerti kan. Sekali lagi, di kiri jalan..!

Sungguh, sebuah perasaan yang manusiawi dan indah ini, betapa kuat, bercampur aduk di jalanan, menyibukkan usia muda ku. Dan begitu hebat mengugah jiwa ku. Sebagaimana pertama kali aku mengenal nama Arbi M Nur dan tiga kawan lainnya, Surya Anta Ginting, Veronica Koman, Filep Karma, Arnol Ap, Musamakotabuni, Pram, Thukul, PEMBEBASAN, FRI-WP dan Aliansi Mahasiswa Papua - yang kukuh pada prinsipnya. Yang tetap memilih menegakkan kepala-kepala - terombang ambing di atas permukaan air bah peradaban orde.

Ah ya, nanti aku catat lagi ya, bagaimana kau tampil dengan keindahanmu sendiri. Hidup begitu gemilang di dalam hatiku.

Tetapi, sampai sekarang aku belum mengerti. Aku tidak dapat memahami. Apa yang dimaksud dengan gerak seperti kepala-kepala budayawan samprul yang muncul.., tenggelam, timbul dan terbenam ini. Suatu perasaan yang manusiawi, sebuah bahasa yang betapa misteri, dan bunyi yang begitu indah, yang aku pendam, yang belum diberitahukan kepadanya - lagi....


28 Maret, 2024
Lentera Merah.

Komentar

Postingan Populer