Perasaan Yang Bercampur Aduk

Kali ini aku makin malas menulis. Perasaan bercampur aduk antara datang dan pergi, terombang ambing dengan bahasanya sendiri di atas gelombang kenyataan-kenyataan yang ada, seperti kepala-kepala para penyair "siluman" yang muncul.., tenggelam, timbul dan terbenam. Hingga beberapa kata kehidupan yang disimak, membiarkanya lewat begitu saja, tak terusik, atau hanya terabaikan.

Perasaanku memang sedang malas. Malas saja barangkali. Aku sendiri tak mengerti. Aku merasa diriku hidup dalam kesunyian. Tersingkirkan dari lingkungan-lingkunganku sendiri yang sangat patriark. Dan kalau tidak berlebihan, aku ingin bilang; terasa pula ini lebih mengerikan daripada berhadap-hadapan dengan TNI-Polri saat demonstrasi Papua.

Malam hari, belakangan ini, aku tak bisa tidur, hingga subuh tiba. Dan waktu memang terbuang sia-sia. Persetan dengan tokoh Arab yang mengatakan “waktu adalah emas”, sering aku memaki demikian, kalimat yang dahulu ustadz di sekolah Ibtidyah selalu mengungkapkannya.

Demikian pula aku merasa hidup ini amat memuakkan. Aku suka memaki sendirian. Marah-marah tak menentu. Bahkan berbicara dan berteriak sendirian. Buku-buku bacaan, bahan-bahan propaganda organisasi, dokumentasi-dokumentasi dan dokumen-dokumen demonstrasi dibiarkan begitu saja berserakan, dan berantakan di atas lantai kamar. Dan aku tidak tahu harus menulis apa. Catatan-catatan studi akhir kuliah ku tak aku pedulikan, terasa malas sekali menyelesaikannya.

Tetapi perasaan ini pun terasa amat kuat membayangkan kasih sayang terhadap sesuatu gerak yang sangat puitis bahasanya. Sesuatu yang mula-mulanya hanya perasaan biasa, namun lama-lama menyatuh dengan kenyataan yang hidup, menjadi mimpi-mimpi dan impian dalam hati, kepala dan tindakanku. Betapa menggoda, hingga menyibukkan usia mudaku, yang makin berjiwa baja, karena jatuh bangun dan tahan banting melawan arus kehidupan di atas pendirian, moral-moral dan prinsip-perinsip pembebasan.

Akh, maafkanku, aku memperlihatkan wajah kesedihan, seperti mata yang sayu karena kehilangan senyum dan tawa. Semacam merindukan pada sesuatu keindahan yang tak kunjung tiba. Sebagaimana kepercayaan dan ketegaran yang pupus.

Sebenarnya aku malu menulis perasaan manusiawi semacam ini, tetapi aku tak menemukan cara lain untuk berbagi cerita dengan siapa. Kepada tembok kamar.? Nggak mungkin. Aku memang “gila”, seperti yang dibilang kawan-kawan, tetapi bukan gila sialan semacam itu. Aku gila dalam keunikan diriku sendiri sebagai manusia yang merdeka. Yang mengatahui batas-batas pembeda antara penindas dan yang ditindas, antara mereka yang menjadi bagian dan mendukung penindasan dengan kita yang menuntut pembebasan.

Akh, ini aku menulis tentang apa.? Terasa seperti berbicara dengan seseorang yang aku tidak tahu namanya, tetapi wajahnya aku kenal, persis seperti diriku yang sekarang.

Aku membutuhkan seseorang yang benar-benar aku cintai, satu pilihan untuk kehidupan, dia yang benar-benar mengerti bahasa kasih sayang, kepada siapa harus diberikan dengan pengorbanan, air mata hingga tetesan darah kematian, yang mau tangannya digenggam, dan sudi diajak ke arah yang indah, bahkan, saling memeluk dengan erat juga barangkali, pelukan kasih sayang yang bersungguh-sungguh..

Akh. Apa-apaan ini. Tulisan apaan ini. Sebuah tulisan yang manusiawi…


18 April, 2024

Lentera Merah.

Komentar

Postingan Populer