PUKUL NOL DUA TADI :

Pukul nol dua tadi aku terombang ambing di jalanan yang tidak ramai. Sunyi. Memang, persis seperti hatiku kini, yang tak pernah bisu pada suatu gerak, yang timbul.., tenggelam, muncul.., dan terbenam. Sungguh, aku tidak bohong. Hahaeee

Tapi ehk, saat di atas motor buntutku itu, tiba-tiba aku menyadari sesuatu, hingga membuat aku tak mempedulikan orang-orang di sekeliling, yang lewat, datang, pergi, berganti, atau yang baru tumbuh. Aku, menerjang motor saja terus. Dan kali ini, aku melepaskan sejenak – sebab akibat pada bahasa dalam gerak-gerik tersebut. Dan kemudian terbawa arus pada romantika yang lain, yang aku menyadarinya. Sebagaimana “Cerita Rakyat” yang dibaca di dalam koran Harian Rakyat, suatu media cetak yang pemimpin redaksinya seorang revolusioner, bernama, Lukman Njoto, atau senang disapa, bung Njoto. Barangkali kau belum pernah membaca catatan-catatannya, catatan dari generasi emas yang pernah ada di bangsa ini, namun generasi gemilang itu telah dihabisi oleh kekejaman TNI, dengan hukum-hukum yang bisu pada ketidakadilan, dan tuduhan-tuduhan, penjara, ancaman hingga kematian.
Namun, eh, aku menyadari bahasanya, gerak-geraknya yang hadir dalam diriku saat ini, bahwa aku tidak hanya membawa tubuhku di atas motor yang dikendaraiku sendiri, tetapi juga bayangmu yang pongah, juga kekesalanku, amuk makian, kebosanan hidup, dan kekonyolan tetapi tidak pengecut. Bahasa yang datang begitu indah ini seolah-olah betapa puitis sekali, karena ia ikut sertakan diri di dalam khayal-khayalku yang sederhana dan manusiawi, wajah-wajahnya hadir pada mimpi dan harapan, bercampur aduk dengan suatu masa depan yang nggak pernah kenal berhenti berjibaku dengan realita.

ini sebuah emosional yang manusiawi, Cen, yang wajar, kau kan sudah lama mengerti bagaimana geraknya, seperti apa wajahnya, sejak dari titik terjangnya, iya kan”, kata ku pelan-pelan, seperti berbisik, pada diriku sendiri. Akh, suatu perasaan senang yang menemaniku di jalanan, menghibur dan seperti cahaya yang menerangi pekat gulita itu.

Lalu, “aku hanya punya kemungkinan. Yang lain-lain tidak.”, tegas kesadaranku mengatakan pada diri.

aku harus menulis ini..!”, di jalanan pulang, tidak hanya dingin menghantam tubuhku, namun ada juga sesuatu gerak yang datang dengan bunyinya sendiri, ia menggugatku, semacam ucapan itu.
“menulis dengan cara apapun, yang mudah membikin orang mengerti”, katanya kemudian.

Sesampai di depan rumah, segeraku memasukkan motor diam-diam ke dalam rumah, motor rongsokan, karatan dan buntut yang senang aku mengenderainya kemana pun itu, tenang-tenang aku beri setandar dua. Aku mendapati mamah belum juga tidur pukul 03.00 – WIT. “atau barangkali mamah baru bangun ya?”, pikirku. Di depan meja ruangan, ia sibuk membaca Al-Qur’an dengan nada-nada suaranya yang merdu, menembusi ulu hati seorang anak lelaki dewasa yang ia asuh, terasa suaranya masuk begitu sejuk ke dalam dadaku. Keseriusannya – membikin ia tak menyimak, meskipun tahu anak sulungnya yang pelit pada ketidakadilan itu telah pulang, sosok anak yang dikhawatirkannya jika tak pulang-pulang ke rumah berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan itu, kali ini ia tak menegur, bahkan mendeham pun enggan. Melihat sikap keibuannya, membuat aku segan menyapanya. Maklum, mamahku seorang perempuan agamais. Aku mengatakan ‘seorang perempuan agamais’ karena ia sosok pendidik agama Islam di Sekolah Dasar dalam kota kecilku ini, Ternate. Nama sekolahnya SDN MANUNUTU, di Ternate tengah. Seringkali aku menjemputnya di tempat ia mengabdikan diri tersebut, murid-muridnya suka dan gembira menyapanya dengan nama ustazah. Bahkan, ketika di mana pun, di pasar, di jalan, mamah ku selalu disapa, ustazah, sebagai seorang guru Agama Islam.

Melihat mamah dalam kesibukannya, aku bergegas menendang langkah menuju ke kamar. Di situ tempat yang sering aku menulis. Aku ambil leptop, punya adik perempuanku, dan menulis memakai leptopnya, karena leptopku sebagian keybornya sudah eror. Digigit semut. Dan malas diperbaiki.

Terpikir olehku, ‘nulis gimana ya.? tapi aku harus menulis dengan gaya yang lain, cara sendiri, berbeda atau tidak sama dengan yang lain-lain, dan yang tidak menyingkirkan realita’.
Hahaha, lihat, ambisiku. Tetapi konyolnya, aku tidak tahu tulisan ini boleh dinamai apa. Sajak.? Nggak mungkin. Puisi.? Nggak mungkin. Cerpen.? Apalagi itu. Oh, curhat barangkali, atau semacam mengarang.? Aku tidak paham, sekali lagi aku tidak tahu bagaimana memaknai tulisanku sendiri, biarkan orang mendefenisikannya, itu bukan urusan dan hakku. Dan mereka kan juga punya akal. Hahaha. Terserah apa kata mereka. Bagiku, yang penting aku menulis kenyataan-kenyataan yang hidup, suatu gerak yang ada di lingkunganku, dan di dalam hati dan kepalaku.

Dan, memulailah mencatat. Kemudian ia mengalir begitu saja, sejak titik terjang itu. Hingga kini, sampai tiba lah kata-kata “ini kali pertama aku menulis begini. Cengeng ya? Curhat? Terserah.!” Hahahaha...

Hei, aku tidak hanya menulis tentang kau yang datang dan enggan untuk pergi, suatu perasaan indah yang sering ditertawai kawanku sendiri dengan ucapannya “aku ditipu oleh keplaku sendiri, berkali-kali, berkali-kali ditipu”. Bukan pula tentang seorang diri yang berada di dalam badai sunyi, tidak, sekali lagi tidak, tetapi sebenarnya tentang suatu gerak yang manusiawi dan hukum-hukumnya pada kehidupan, yang sekali lagi, berada di dalam lingkungan-lingkungan kita…

 

05 April, 2024

Lentera Merah

Komentar

Postingan Populer