PUKUL NOL DUA TADI :
Pukul nol dua tadi aku terombang ambing di jalanan yang tidak ramai. Sunyi. Memang, persis seperti hatiku kini, yang tak pernah bisu pada suatu gerak, yang timbul.., tenggelam, muncul.., dan terbenam. Sungguh, aku tidak bohong. Hahaeee
“ini sebuah emosional yang manusiawi, Cen, yang wajar, kau kan sudah lama mengerti bagaimana geraknya, seperti apa wajahnya, sejak dari titik terjangnya, iya kan”, kata ku pelan-pelan, seperti berbisik, pada diriku sendiri. Akh, suatu perasaan senang yang menemaniku di jalanan, menghibur dan seperti cahaya yang menerangi pekat gulita itu.
Lalu, “aku hanya punya kemungkinan. Yang lain-lain tidak.”, tegas kesadaranku
mengatakan pada diri.
“menulis dengan cara apapun, yang mudah membikin orang mengerti”, katanya kemudian.
Sesampai di depan rumah, segeraku memasukkan motor diam-diam ke dalam rumah, motor rongsokan, karatan dan buntut yang senang aku mengenderainya
kemana pun itu, tenang-tenang aku beri setandar dua. Aku mendapati mamah belum
juga tidur pukul 03.00 – WIT. “atau barangkali mamah
baru bangun ya?”, pikirku. Di depan meja ruangan, ia sibuk membaca Al-Qur’an
dengan nada-nada suaranya yang merdu, menembusi ulu hati seorang anak lelaki
dewasa yang ia asuh, terasa suaranya masuk begitu sejuk ke dalam dadaku. Keseriusannya –
membikin ia tak menyimak, meskipun tahu anak sulungnya yang pelit pada
ketidakadilan itu telah pulang, sosok anak yang dikhawatirkannya jika tak
pulang-pulang ke rumah berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan itu, kali ini ia tak menegur, bahkan mendeham pun enggan. Melihat sikap keibuannya, membuat aku segan menyapanya. Maklum, mamahku seorang perempuan agamais. Aku mengatakan ‘seorang
perempuan agamais’ karena ia sosok pendidik agama Islam di Sekolah Dasar dalam
kota kecilku ini, Ternate. Nama sekolahnya SDN MANUNUTU, di Ternate tengah.
Seringkali aku menjemputnya di tempat ia mengabdikan diri tersebut, murid-muridnya suka dan gembira
menyapanya dengan nama ustazah. Bahkan, ketika di mana pun, di pasar, di jalan, mamah ku selalu disapa, ustazah, sebagai seorang guru Agama Islam.
Melihat mamah dalam kesibukannya, aku bergegas menendang
langkah menuju ke kamar. Di situ tempat yang sering aku menulis. Aku ambil
leptop, punya adik perempuanku, dan menulis memakai leptopnya, karena leptopku
sebagian keybornya sudah eror. Digigit semut. Dan malas diperbaiki.
Dan, memulailah mencatat. Kemudian ia mengalir begitu saja,
sejak titik terjang itu. Hingga kini, sampai tiba lah kata-kata “ini kali pertama aku menulis begini. Cengeng ya? Curhat? Terserah.!”
Hahahaha...
Hei, aku tidak hanya menulis tentang kau yang datang dan enggan
untuk pergi, suatu perasaan indah yang sering ditertawai kawanku sendiri dengan ucapannya “aku ditipu oleh
keplaku sendiri, berkali-kali, berkali-kali ditipu”. Bukan pula tentang seorang diri yang berada di
dalam badai sunyi, tidak, sekali lagi tidak, tetapi sebenarnya tentang suatu
gerak yang manusiawi dan hukum-hukumnya pada kehidupan, yang sekali lagi, berada di dalam
lingkungan-lingkungan kita…
05 April, 2024
Lentera Merah
Komentar
Posting Komentar