Membayar Rindu di Kampung Halaman

Aku pemulung cerita jalanan. Telah lama kupungut cerita dalam kenyataan yang tampak dari mata, segala bunyi dan bahasa, jejak dan langkah kaki, juga derak derik jarum jam yang tak pernah bisu adalah kata-kataku, nggak kubiarkannya membeku, sungguh. Kata-kata itu kemudian kubungkus dengan bahasa yang bercahaya kasih sayang, yang mengandung sinar kejujuran dan keberanian, ketulusan dan lentera kesederhanaan. Kukarang menjadi catatan, menjadi cerita. Tak dipedulikan dibaca atau tidak. Memang aku tak pedulikan, karena bukan hak ku melarang siapa pun untuk tak membacanya, maka inilah catatan karangan tersebut, kubiarkan ia mengalir sejadinya, sederasnya, sebagaimana mata air sungai Tuma di kampungku, yang jernih dan hangat itu:

Delapan tahun lamanya aku tak pulang, sudah hampir satu dasawarsa, namun akhirnya aku menginjakkan kaki di atas tanah kampung halaman, 20 Juni 2024 kemarin. Kampung yang telah lama menelan masa mungilku itu, keras memanggil aku kembali, konon, sekedar membayar rindu yang selalu mendegupan jantung begitu sayu.

Aku menghadiri akad nikah adik sepupuku, Aslamiyah Bahar dan kekasih hatinya, Saifullah Tahir. Segera aku berpenampilan sedikit rapi, karena aku tau bagaimana adabnya menunjukan diri sebagai sosok terpelajar di kampungku, seorang anak muda yang baru belajar. Karenanya rambut yang panjang sampai di pundak itu telah dipangkas sebelum tiba di sana. Bulu yang lebat di wajahku kemudian digunting dan dicukur, tidak hanya jenggot dan kumis tetapi juga bulu hidungku. Memang, tak ada yang menegur bila diriku kelihatan berantakan kecuali nenek, kakek dan bapakku tempo itu. Namun baiknya aku lekas merapikan diri.
Di kampung, banyak pergolakan yang memberi pengetahuan dan merayu ingatan. Aku menemukan jejak kecilku yang hilang, dua pohon sukun yang kerap mempayungin kami, aku dan teman-teman bermain bola di pantai itu, kini sudah roboh dan lapuk. Anak-anak ingusan yang dahulu duduk di taman kanak-kanak sudah tumbuh remaja, segar dan disegarkan, mereka memiliki bakatnya masing-masing, bermain bola begitu bebas seperti masa mungilku, tanpa sepatu tetapi riang dan gembiranya bukan main.

Kawan-kawan lamaku tidak sedikit yang memilih berangkat merantau meninggalkan kampung halaman, bermain dan berkelahi dengan amuknya gelombang nasib di seberang lautan, melewati pulau-pulau di singga sana. Namun beberapa di antaranya membanting stir pada jalan yang berbeda, memilih membersikan lahan kebun, mencangkul, menanam, kemudian memetik limpahan panenannya, tetap setia menjaga tanah dan kampung yang memberinya kehidupan. Kawan-kawan lama yang ada, yang tersisa, belakangan tenang-tenang kumenyapanya. Tentu kita melahirkan bercakap-percakapan, sebagaimana dahulu diantara kita berbagi cerita hingga lupa pulang dan dicari mamah. Tetapi rupanya terbahak tawa lebih banyak meledak dari sedu sedan yang diciptakan, tawa yang begitu akbar dan keras, namun tak benar-benar se-riang kemarin, penuh amuk dalam realita. Suara tawa yang keluar hingga ke langit-langit itu, terasa begitu berat, meskipun kelihatan betapa ria gembira, persis seperti beratnya tawa seorang lelaki dewasa yang menertawai nasib satu-satu pada diri sendiri. Sungguh, aku merasakan gejolak emosional yang manusiawi tersebut, suatu bahasa yang mengandung kepiluan atas mimpi-mimpi indah yang tertanam sedemikian, tertahan dan belum tercapai cukup lama, impian visioner yang sesak di dalam dada dan tak henti berkelahi dengan kenyataan.

Sejak detik itu aku hendak menyadari, bahwa kita, aku dan kawan-kawan lamaku, bukan lagi anak-anak ingusan yang bermain bola dengan bebas dan gembira sore tadi. Aku kelak merasa seorang diri yang tertinggal jauh, rencana-rencana banyak yang tertunda dan buyar. Gemilangnya impian-impianku yang dahulu itu kini begitu berat di pundak dan langkah kaki, meresahkan dan menyibukkan usia muda. Aku belum menuntaskan sesuatu pun, belum berbuat apa-apa terhadap keistimewaan mimpi-mimpi itu hingga memasuki umur 26 tahun kini. Akh, setidaknya, itulah yang hatiku menimbang-nimbang dan merasakan. Sedemikianlah kenyataannya yang hidup.

Kenyataan yang lain, beberapa guru-guru agama yang cerdas-cerdas dan piawai berbahasa Arab itu sudah tidak ada untuk selamanya. Namun satu di antaranya yang tersisa, senang kami menyapanya dengan nama, Ustadz Mahmud. Ia seorang guru tanpa gelar kesarjanaan tetapi begitu baik dan pintar, setia mengabdi, menumpahkan ilmunya kepada generasi dengan tulus, dengan segala kemampuan dan ketidakmampuannya. Sosok diri menjadi pendidik abadi sampai pada usia baya-nya kini, di Diniyah Ibtidayah, tempat pendidikan dimana aku dididik membaca Al-Qur’an dan Hadist dahulu saat usia kanak-kanak. Sementara guru agama yang tersisa lainnya ialah ustadz Muhammad, merupakan seorang pendidik agama di sekolah menengah, Madrasyah Snawiyah. Dahulu ia juga mengajari aku dan teman-teman membaca Al-qur’an. Aku tak akan melupakan besarnya jasa guru-guru agama yang baik dan bijaksana itu.

Di kampung yang nggak terlalu besar itu, Moti Tafamutu, aku tidak hanya menghadiri akad nikah adik sepupuku tetapi juga berziarah kubur bapak, kakek, nenek dan totu bersama mamahku dan adik perempuan. Pada ziarah kubur itu, mamahku membacakan do’a, aku dan adikku mengamininya di belakangnya.

Satu hal yang nyata, aku pun tak menemukan rumah di sana. Sejak saat itu aku merasakan, rumah sudah bukan milikku lagi. Telah kosong. Tidak ada bapak, kakek dan nenek. Tidak ada suasana tawa semacam di senja kala. Dan aku merasa kehilangan segalanya. Segala yang indah seperti dahulu sudah tiada, digerus oleh derasnya waktu. Aku kemudian menatap wajah mamah di acara akad nikah adik sepupuku, pada suasana yang gembira itu, ya, mamahku sendiri, betapa sayu dan dingin dirinya tegak berdiri dengan sikap keibuan, namun matanya begitu sepi. Seperti menyembunyikan bahasa iba dan tangis yang dalam, bahasa yang manusiawi. Tetapi aku tak pernah melihat mamah berani menitikkan air matanya. Mamahku begitu kuat, bukan karena ia mamahku sehingga aku mengatan demikian, tapi itulah kenyataannya, dirinya sosok perempuan yang tegar, berani bergegas menentukan pilihan, tak menikah lagi, menghidupi empat anak-anaknya sendirian di dalam kota kecil yang pelit dan miskin nurani, dengan segala kemampuan dan ketidakmampuannya, menumpahkan cinta dan dedikasi. Tetapi tak pernah kulihat mamah menangis, sungguh, kecuali waktu kekasih hatinya meninggalkannya untuk selama-lamanya dan disaat-saat ia mendirikan sholat pada sepert tiga malam. Air matanya menitik dan isak tangis terdengar seperti kanak-kanak.

Hei, teman-teman pembacaku yang baik, sampai di sini dulu yah karanganku dalam bahasa realita itu. Nanti aku lanjutkan lagi cerita lainnya. Aku pamit..

Ternate, 30 Juni 2024
Lentera Merah

Komentar

Postingan Populer